Rabu, 28 Maret 2012

Wedding Fever

      Minimal sebulan terakhir ini pembicaraan yg terdengar di rumah adalah soal mantu, ewuh, jagong, ulem, ngundang manten, sampai pisang jejeran segala. Pokoknya berbagai hal seputar pesta pernikahan ala daerahku. Betapa itu adalah tema yg sangat tidak menarik bagiku. Mendengar itu, sampai-sampai aku berkata pada diri sendiri, diberi Avanza satu unit pun aku tak mau diewuh-ewuhkan semacam itu.

      Aku merasa beruntung, bahagia, dan harus berterimakasih pada Allah Swt yg menanamkan pada diriku selera yg berbeda dengan orang kebanyakan, minimal orang-orang di daerahku. Aku pun lega karna optimis bahwa orang tuaku paham kalau aku adalah tipe orang yg dingin dengan pesta-pesta macam itu.

      Aku berharap pada Allah Swt, semoga calon mertuaku nanti juga dengan ringan bisa memahami seleraku. "Plis deh, Pak, Buk.. yg sederhana saja, njih.. syukur lebih sederhana dari yg dilakukan Nabi Saw.." Lalu bagaimana dengan calon istri? "Bagaimana, Sayang.. bukankah Kau setuju dengan mas..?" Maka ia akan tersenyum dan mengangguk [ha.. ha.., semoga].

      Kawan, kalau kau tak seselera denganku, okelah, aku memaklumi itu. Tiap orang memang memiliki hal masing-masing untuk memperoleh kebahagiaan. Mungkin yg suka dengan pesta-pesta begitu, memang itu lah yg membuat mereka bahagia. Dan alhamdulillah, dari pandanganku ini aku mendapatkan pelajaran bahwa Allah Swt memerintahkan aku untuk bersyukur. Bersyukur bahwa aku bisa memeroleh kebahagiaan tanpa harus dengan pesta yg mengeluarkan banyak uang. Aku bisa mendapatkan kebahagiaan yg sangat dengan cara lain. Cara yg berbeda dengan mereka. Alhamdulillah, terimakasih, ya Allah..


ibudh
Sragen, 17 Dzulqa'dah 1432 

Diam

      Hei..., kau lihat aku diam? Memang aku diam, mulutku tak berucap. Tapi tindakanku yg berkata. Aku tak menyembunyikan apa yg kutau, aku bukan tak mau menularkan kebaikan padamu. Bukan pula aku tak mau jadi guru bagimu.. Inilah caraku mengajakmu, dengan melakukan apa yg kulakukan, dengan melalui peristiwa demi peristiwa, dengan menyelami perubahan demi perubahan. Tanpa aku tuturkan satu persatu dengan lisanku.

      Aku ingin yg kau baca adalah kenyataan. Bukan angan, bukan cerita, apalagi kebohongan. Aku memang memilih jalan pasif. Lisanku akan aktif jika kau minta saja, atau karna hal lain. Jadi kau lah yg harus aktif jika ingin belajar denganku, jika kau mau aku jadi gurumu.Aku sengaja memilih jalan ini agar lebih selamat dari keliru. Aku tak mau mengatakan apa yg tak kulakukan atau tak berusaha untuk kulakukan. Aku takut murka Allah Swt [Qs Shaff: 3].

      Belakangan aku mendapatkan perkataan seorang sahabat radhiyallahuanhu. Beliau berkata, "Nasihatilah orang lain dengan tindakanmu, dan jangan menasihati dengan ucapanmu.." Tentu maksud beliau, menasihati dengan ucapan itu boleh, tetapi lebih berisiko dan kalah mustajab ketimbang memberi nasihat dengan tindakan [keteladanan]. Menjadi teladan lebih mulia ketimbang menjadi guru. Karna seseorang yg menjadi teladan, tanpa sadar ia telah menjadi guru. Tetapi dengan menjadi guru, belum tentu ia menjadi teladan. Ini yg aku lihat pada kenyataan. Padahal dalam pemahaman Jawa, secara bahasa kata 'guru' bisa dipanjangkan jadi 'digugu lan ditiru', yg artinya 'dipatuhi dan diteladani'. Maka kalau ada guru yg kerjanya cuma menyampaikan materi sebagai tuntutan profesi, tanpa melaksanakan teori yg mestinya ia amalkan dalam keseharian, ya, [Isilah titik-titik berikut ini!] ....


ibudh
26 Rajab 1432  
 

Rabu, 14 Maret 2012

Kau Mampu Asal Kau Mau

      Siang ini aku harus menulis. Ya, harus menulis dan harus tuntas satu tulisan. Ini saat aku diam, sendiri dalam ketenangan. Tak ada orang-orang yang mengenalku yang akan menyapaku, apalagi ngajak ngobrol. Ya, aku ingin tenang, ingin sendiri sekarang ini.
      Dalam ketenangan ini aku lakukan evaluasi, apa saja yang telah aku lakukan beberapa pekan terakhir ini. Cukup produktifkah? Oh, coba aku ingat-ingat dulu.

      Ketidak teraturan masih menyelimuti diriku. Menejemen aktifitas yang kurang cerdas masih terinstal di hari-hariku. Karna hal itu, beberapa point penting yang mestinya menjadi prioritas pikiran dan tindakan, sadar atau tidak telah aku marjinalkan.
      Fitnah syahwat, kedangkalan dzikir, dan kurangnya motivasi. Paling tidak tiga hal ini yang memosisikan diriku pada level yang kurang 'bergengsi'. Aku tau kalau perubahan-perubahan yang terjadi pada seseorang dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam. Itu adalah sunatullah. Tapi sekarang ini aku memiliki tipe pribadi yang cenderung berinstrospeksi. Aku lebih enjoy ketika bisa berkaca diri, mengoreksi kesalahan-kesalahan, dan mengakui dengan sepenuh hati akan kesalahan-kesalahan itu. Aku begitu menikmati tindakan ini. Jika kondisi lingkungan, dengan izin Allah Swt sampai menyeretku pada kebobrokan, itu tetaplah salahku. Kenapa aku tak memperkokoh benteng pertahananku kalau sebenarnya Dia memberi kemampuan itu?
      Allah Swt berfirman:
      "Aku tak membebankan pada seseorang kecuali sesuai kemampuannya..." QS. Al Baqarah 286.
      Syukur. Siang ini aku memertanyakan apa itu syukur yang telah aku haturkan pada-Nya. Malu rasanya aku pada Allah Swt. Aku ingat ucapan; "innalhamdalillah.." yang aku ucapkan dalam kultum, dalam kondisi hati yang tak bergetar sama sekali, dalam ekspresi muka yang datar, dalam ucapan yang minim konsentrasi dan agak tergesa. Begitu itukah yang namanya pujian pada Allah Swt? Begitu pulakah ekspresi syukur pada-Nya? Astahgfirullahaladhiim wa atubuilaik..
     Kutegaskan lagi pada diriku siang ini, di masjid besar nan tua ini. Hai diriku, syukurilah kemampuan-kemampuan yang telah Allah Swt karuniakan padamu. Sungguh, kau mampu melakukan yang lebih baik dari yang telah kau lakukan di hari-harimu yang lalu. Kau mampu tetap bertahan dari hempasan-hempasan angin di sekitarmu yang mengarahkan pada posisi yang bobrok nan hina. Kau mampu dan kau mampu, asal kau mau!!

      Dan pada paragraf terahir tulisan ini dikatakan  bahwa tulisan ini tak berguna jika tak ada perubahan pada diriku mulai detik ini. Yang terpenting bukan teori, tetapi aksi. Dan.... sekarang aku beraksi!


ibudh
Masjid Agung Surakarta, 07  04  1433 

Senin, 05 Maret 2012

Maghrib

      Aku melangkah dari selatan. Di pertigaan aku lihat dia berjalan dari arah barat. Aku kira dia juga mau ke masjid. Aku tak kenal dia, mungkin memang belum pernah melihat sebelumnya. Dan kemudian aku lihat sebiji okulele merah dipegangnya. Ouh, ternyata dia pengamen.

      Alhamdulillah.. Allah Swt menakdirkan bibirku mampu bergerak. Aku sapa dia yang sedikit agak di belakangku. "Piyambakan mawon, Mas?" ("Sendirian saja,Mas?"). Berlanjut sedikit obrolan sambil berjalan tiga puluan meter, hingga berakhir di depan gerbang masjid. "Monggo.." ("Mari.."), dia meramahiku. "Monggo, Mas.. nderekke.." ("Mari, Mas.."), jawabku. Dia terus berjalan dalam sentuhan rintik gerimis mungil.

     Sampai di halaman masjid aku tersadar, dari pertigaan tadi ada salah satu hal yang menurutku wajib disyukuri. Allah Swt menolongku untuk mampu menggerakkan bibir, berkata-kata dengan ramah dan tawadlu'. Tak ada keangkuhan dan nada menggurui sama sekali -sebatas yang aku sadari-. Aku membayangkan andai ada kejadian seorang muslim yang sedang berjalan menuju masjid dengan pakaian khas muslimnya, kemudian bertemu dengan seorang yang awam dengan ekspresi yang tak bersahabat, angkuh, dan terkesan acuh. Bagaimana persepsi si awam tersebut terhadap Islam? Pikiran inilah yang mendorongku untuk merasa bersyukur.

      Mungkin ini hal sepele. Tapi tidakkah mungkin sikap sederhana semacam ini Allah Swt jadikan jalan hidayah bagi makhluk-Nya? Aku optimis ini sangat mungkin, meski seingatku belum pernah aku menemukan bukti sejarahnya. Akan tetapi kisah-kisah pada zaman Nabi Saw dan salaf ash shalih yang senada dengan ini tentu kita sudah memakluminya. Sebagai contoh, ketika seorang badui buang air kecil di masjid. Juga nenek tua yahudi yang sering disuapi oleh Nabi Saw, setelah tahu bahwa orang yang biasa menyuapi itu adalah Rasulullah maka ia pun masuk Islam. Subhanallah wal hamdulillah wa laailaha illallah wallahu akbar!

      Maka marilah, Saudaraku, kita bersama belajar dan berlatih berakhlaq yang manis. Kita jaga kemuliaan Din ini dengan cerminan keseharian kita. Perkara-perkara sederhana yang jelas tak butuh biaya dan energi yang banyak untuk bisa kita lakukan, tapi tak jarang kurang menjadi perhatian, mulai saat ini coba kita berikan perhatian. Dengan begitu, semoga rahmatan lil alamin menjadi lebih dan semakin terasa bagi penghuni bumi ini. Aamiin.. Mari kita tunjukkan ketegasan prinsip dengan kesejukan!

      : )


ibudh
Priyobadan, 28 03 1433